Dilarang Jatuh Cinta
Cerpen Maroeli Simbolon, Dimuat di Republika 12/19/2004Wah! Semua mata terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!'' Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!'' Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi. Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk apa?''''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.'' ''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur. ''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi: ''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh. Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri. Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya, ''Cintakah?!'' Jakarta, 2003/2004
Persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.